AmanDariCOVID19
Wawancara Covid-19: Dr Pande Januraga MD Phd

Dr Pande Januraga adalah Doktor di bidang KesMas (MD-PhD Public Health) lulusan Flinders University Australia dengan latar belakang dokter medis. Sekarang jadi dosen di FK Unud, ketua unit Center for Public Health Innovation dan koordinator program S2 IKM
Rio Helmi: Doktor Januraga, belakangan ini di medsos dan kalangan publik sudah marak berbagai teori tentang immunitas Bali terhadap covid-19, ada juga teori bahwa sebenarnya puncak pandemi di Bali sudah lewat, dan sebagainya. Sebagai orang yang terlatih dalam ilmu kesehatan masyarakat (public health), apakah ada bukti atau argumen bahwa hal seperti itu mungkin?
Dr Pande Januraga: Teori imunitas berasal dari konsep herd immunity yang dalam ilmu epidemiologi berarti kekebalan terhadap penyakit menular yang diperoleh masyarakat di tempat tertentu karena sebagian besar masyarakat telah kebal karena vaksinasi atau paparan infeksi sebelumnya, akibatnya masyarakat yang tidak kebal akan terlindungi. Untuk bisa melindungi masyarakat yang tidak kebal paling tidak 60% dari masyarakat harus kebal, bahkan mungkin perlu angka yang lebih tinggi jika penyakit menular disebabkan oleh kuman yang penularannya lebih mudah seperti SARS-CoV2 penyebab COVID-19 ini. Nah jelas vaksinasi belum pernah ada untuk COVID-19 kemudian jika sudah pernah terinfeksi apakah benar 60% orang Bali sudah pernah terinfeksi sebelumnya? Sangat sulit untuk yakin. Ada blog yang menulis bahwa pada awal Januari sampai Februari ada banyak hotel yang meliburkan karyawan karena mereka melaporkan sakit, wah dimana laporannya? Sakitnya apa? Apakah benar karena COVID? Berapa banyak karyawan hotel di Bali, apakah 60% dari penduduk Bali? Sulit diterima. Hal lain adalah jika benar telah cukup banyak orang Bali yang pernah menderita COVID-19 maka statistik dari tempat lain bisa digunakan untuk menghitung bahwa akan ada kurang lebih 10% yang sakit berat dan 5% perlu perawatan di ICU dan anggap saja paling sedikit 20% dari yang masuk ICU meninggal, coba hitung sendiri angkanya dari 60% penduduk Bali. Jika kita memiliki 4,5 juta jiwa maka, 2,7 juta terinfeksi, 270 ribu sakit bergejala berat, 135 ribu perlu ICU dan 20% dari 135 ribu ini meninggal maka ada minimal 27 ribu kematian, jumlah yang sulit dibayangkan kan? Silahkan diturunkan setengah persentase di atas, maka tetap saja belum pernah ada laporan bahwa ada kejadian kesakitan dan kematian masal di Januari dan Februari di Bali. Bagaimana jika memang orang Bali, sakitnya tidak berat…mungkin saja, tetapi ini tidak ada dasarnya, apakah ada pengaruh genetik? Belum ada jawabannya. OK, mungkin akan ada yang membantah, tidak perlu sebanyak itu yang terinfeksi. Kalau begitu apa dasarnya? Pernah dengar polio, vaksinasi polio malah dikampanyekan 100% karena memang sulit mencapai herd immunity. Hal lain adalah seberapa lama kekebalan pada COVID-19 bertahan? Ini penyakit baru, penelitian terkait belum banyak, tetapi coba pikirkan, sampai sekarang MERS dan SARS yang virusnya setipe yaitu Corona belum ditemukan vaksinnya, mengapa karena sulit menguji kekebalan spesifik untuk jenis virus ini. Itu sebabnya ada banyak informasi yang mengatakan perlu waktu untuk vaksin berhasil ditemukan. Plus, ingat saja influenza, jika anda pernah tinggal di negara 4 musim, maka wajib vaksin tiap tahun, yang artinya kekebalannya tidak bertahan lama, nah silahkan nilai sendiri bagaimana mungkin ada klaim bahwa anda akan kebal 30 tahun setelah sembuh dari COVID-19, butuh 30 tahun menunggu untuk klaim ini hehehe. Untuk pertanyaan kedua, Bali sudah lewat puncak, sudahlah ini pernyataan tanpa basis data, lihat saja laporan Satgas Bali, apakah ada gambar grafik temuan kasus turun terus? Masih fluktuatif. Saya pribadi berharap ya, tapi itu lihat data-nya.

RH: Dari perspektif keahlian Anda, bagaimana Anda menanggapi teori-teori sejenis yang berkeliaran di kalangan masyarakat? Apakah perlu ada penyuluhan umum, atau sosialisasi intensif dari ilmuwan/ahli?
DrPJ: Masyarakat kita sekarang kebanjiran informasi, semua orang ingin berperan aktif membuat dan membagikan informasi termasuk yang kita lakukan sekarang ini, wawancara ini. Hanya saja, informasi harus dicerna secara berhati-hati dan berkacalah pada data perkembangan penyakit, jika masih terus ada laporan maka perang belum berakhir. Karena masyarakat banjir informasi, bahkan ada banyak webinar gratis, maka sulit untuk mengembangkan media yang kemudian bisa menjadi sumber terpercaya, chanellingnya terlalu banyak, diperlukan upaya serius untuk memetakan channel public yang bisa menjadi corong informasi tepat dan sekaligus disukai masyarakat. Ini perlu duduk bersama pakar komunikasi massa, media, dan semua yang mungkin memberikan pengaruh termasuk influencer. Menurut saya bukan hanya masyarakat yang kebanjiran informasi tetapi juga politisi dan pengambil kebijakan, nah untuk mereka ini saran saya percayalah ilmu pengetahuan dan teknologi!
RH: Sampai saat ini pengadaan data di Bali terkesan banyak kendala: kurangnya testing, faktor stigmatisasi, ada juga kabar “false dengue” atau covid-19 yg terselubung oleh DB. Apakah memang betul bahwa hal-hal ini menjadi rintangan yang signifikan? Atau ada hal lain yang lebih berat?
DrPJ: Ini pertanyaan yang kompleks, tapi coba saya bedah satu satu ya:
Kurang testing, ini hampir pasti ya jika patokannya adalah pengambilan sampel dengan swab dan dites dengan real time PCR, jumlah tes ini tercatat baik, agak berbeda dengan tes cepat atau rapid test. Sejauh ini yang ditest dengan PCR adalah PDP sementara ODP tidak mendapatkan swab untuk PCR, hanya tes cepat. PMI juga tidak seluruhnya di tes, hanya yang tes cepatnya positif dites swab PCR. Seperti yang saya jelaskan sebelumnya sebagian besar infeksi tidak bergejala atau ringan, jadi kalau ada yang mengatakan underdiagnosed ya, saya juga yakin demikian. Lalu apakah tes cepat tidak akurat? Agak berbeda karena tes cepat yang beredar di Indonesia menguji ada tidaknya respon imun atau antibody akibat infeksi virus, respon umum bisa muncul bervariasi dari 1 minggu pasca infeksi sampai bahkan 4 minggu, jadi timing atau kapan tes dilakukan sangat penting. Hal lain adalah tes cepat tidak spesifik untuk SARS-CoV2, tapi untuk infeksi karena virus corona, tadi saya jelaskan penyeban COVID-19 adalah SARS-CoV2 dan ini hanya salah satu tipe dari virus corona. Artinya bisa ada kemungkinan negative palsu dan di sisi lain juga mungkin positif palsu. Itu sebabnya teman-teman kita yang PMI meskipun negative tes cepat, tetap diminta untuk karantina selama 14 hari.
Stigma ada karena kurangnya informasi yang tepat, ada banyak informasi tapi yang tepat kurang, masyarakat kita dibiarkan mencari, menerima dan menyaring informasinya sendiri, masalahnya mereka tidak punya cukup bekal untuk menyaring secara benar. Di satu sisi lalai dengan physical distancing dan pemakaian masker, di sisi lain menolak jenazah penderita COVID-19.
False dengue ini istilah yang muncul karena ada artikel Ilmiah yang mengabarkan pasien yang didiagnosis dengue ternyata menderita COVID-19, belakangan gejala COVID-19 makin bervariasi, gejala mirib Dengue hanya salah satunya. Saya sempatkan mencari tahu di kalangan teman dokter yang bertugas di beberapa RS di Bali, memang ada kecenderungan peningkatan kasus DB dalam dua bulan terakhir, sejauh ini menurut mereka gejala masih khas DB. Bagusnya BPJS sekarang mengijinkan pemeriksaan NS1 dan serologi DB untuk membantu penegakan diagnosis, yang artinya bisa dibuktikan benar benar DB. Hanya saja sebagai orang yang melihat data, sulit ini dijadikan ukuran jika kita tidak tahu dari kasus DB yang dilaporkan di Bali berapa yang sebenarnya confirm DBD, kemudian idealnya semua dokter harus melakukan analisis profil riwayat pasien, apakah ada risiko kontak dengan kasus COVID-19, perjalanan ke daerah merah? jika memungkinkan di tes COVID-19 paling tidak tes cepat untuk skrining. Hasilnya kemudian dilaporkan ke Dinkes untuk analisis lanjutan dan intervensi di tingkat masyarakat dan juga layanan kesehatan. Akan makin berat beban layanan kesehatan jika ada double infection, prognosisnya juga belum jelas diketahui. Itu sebabnya data sangat penting dan analisis adalah kunci. Kita juga masih lemah disini.

Fogging yg dilakukan secara swadaya masyarakat di Br Waru, Tengkulak.
RH: Dengan kendala-kendala data yang ada, kira-kira parameter untuk membuat modeling/proyeksi pandemi di Bali bagaimana? Apa yang bisa Anda andalkan untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang apa yang sedang terjadi?
DrPJ: Harus diingat tidak satupun dari model atau estimasi epidemi benar, semua salah karena memang hanya prediksi, sedikit saja meleset baik dari jumlah maupun waktu sudah salah kan hehehehe. Hanya saja model sangat penting bagi pengambil kebijakan, apa strategi ke depannya, harus bagaimana. Model yang baik bergantung pada data yang baik terutama kapan onset atau dimulainya epidemi, perkembangan kasus positif baik jumlah maupun waktu, gambaran beratnya infeksi terkait berapa yang berat, yang meninggal, berapa PDP, ODP, dan juga detail demografi pasien, detail ketersediaan layanan. Semakin detail semakin baik suatu model. Yang membingungkan kita adalah kapan sebenarnya epidemi di Bali mulai, menarik karena pengumuman kasus pertama pada tanggal 11 Maret 2020 yang kejadian sakitnya pasti sudah beberapa hari atau mungkin minggu sebelumnya. Juga apakah benar itu kasus pertama mengingat kemampuan lab kita bahkan di level nasional baru jelas di awal maret, sebelumnya kita tidak siap dalam melakukan testing secara baik. Ini juga yang memicu dugaan di atas bahwa puncak epidemi sudah lewat, kita sudah terdampak sejak Januari….tapi ingat ya, lewat puncaknya back to data saja, sekarang baru sampai bogor kayaknya belum puncak 😊. Saya pribadi berdoa semoga pemodelan Indonesia yang menunjukkan puncak kasus adalah Mei dan Juni selesai adalah benar, saya berdoa serius untuk ini. Masyarakat kita sudah terlalu berat menahan beban ekonomi karena COVID-19 ini. Jadi apapun modelling yang meramalkan Juni selesai, saya doakan benar. Cuma ya, kalau dilihat dari data yang masih update sekarang jumlah kasus masih bertambah cukup banyak ya!
RH: Saya dapat kabar (tgl 24) dari sumber di kalangan staf medis di Bali yg menangani covid-19 bahwa ada 5 staf medis (3 dokter, seorang perawat, dan tenaga lainnya) yang sudah positif, dan ada 15 staf medis lainnya yang sedang karantina menunggu hasil testing. Mungkin hasilnya sudah ada sekarang. Apakah jumlah staf medis bisa dipakai indikator tentang lajunya pandemi?
DrPJ: Saya tidak bisa pastikan apakah informasi di atas benar. Tapi adanya korban petugas kesehatan lebih mencerminkan ketidaksiapan layanan terutama dalam keselamatan petugas dan pasien, setahu saya banyak terjadi di awal awal epidemi dimana kita masih berusaha keras mengejar kecepatan epidemi di tengah kekurangan berbagai prasarana seperti ruang isolasi, APD dan bahkan pengetahuan tenaga medis serta prosedur. Harus diakui meskipun kita sudah mendengar COVID-19 sejak awal Januari, persiapan baru dilakukan setelah COVID-19 masuk Indonesia termasuk Bali.
“GAK BISA DITUDUH SATU-SATU, FAKTOR-FAKTOR ITU SALING BERKAITAN”
RH: Menurut hemat Anda, faktor apa yang membuat pandemi di Bali seolah lebih lamban dibanding Jakarta atau kota besar lainnya di Jawa? Atau hanya ‘kesan’ saja karena testing, survey, dan pelacakan yang kurang aggresif?
DrPJ: Lagi-lagi pertanyaan yang sulit. Lambatnya perkembangan kasus di Bali serta Bali sebagai daerah tujuan utama wisatalah yang juga memicu teori kebal yang sudah kita bahas sebelumnya. Gak bisa dituduh satu satu, faktor-faktor itu saling berkaitan. Jika saya boleh membuat dugaan berdasar pengetahuan saya tentang penyakit dan juga kesehatan masyarakat maka ada beberapa di luar faktor tes:
Cuaca Bali sudah panas dan lembab sejak Desember, ada bukti ilmiah yang menunjukkan memang panas dan lembab kurang mendukung lamanya virus bertahan di udara maupun permukaan benda. Jakarta malah hujan dan basah kan di awah tahun ini. Cuaca tentu saja berpengaruh tapi kan hanya salah satu, tidak bisa ditentukan besar atau kecil.
Bali tidak punya transportasi public, termasuk untuk pariwisata. Kendaraan pribadi dengan duduk penumpang terpisah dari driver lebih umum di Bali, pun tidak dalam bentuk bis bis besar, ini ada tapi jarang.
Tempat wisata Bali juga lebih banyak ruang terbuka
Hotel di Bali juga khusus, banyak yang model resort eksklusif dan juga villa privat. Tamu dari Tiongkok juga punya preferensi hotel berbeda dengan tamu dari negara lain dan local.
Budaya peluk dan cium juga kurang lazim di Bali
Pemukiman di Bali juga tidak sepadat di Jakarta terutama dari tipe rumah tinggal.
Respon pemerintah Bali yang positif sejak kasus 1 dan sebelum kasus 1 diumumkan, saya bisa melihat bahwa misalnya Dinkes Bali sudah mendiskusikan kesiapan layanan dan upaya pencegahan sejak kasus pertama di Jakarta diumumkan.
Plus mungkin memang beruntung hehehehe.
Gak bisa dituduh satu satu, faktor faktor itu saling berkaitan Tapi…..yang saya uraikan di atas mungkin hanya mengurangi tidak meninggalkan fakta bahwa kita sudah kena dampak dan kasus masih meningkat. Kalau kita lihat data dari Satgas Covid tanggal 12 dan tanggal 26 April maka dalam waktu dua minggu laporan transmisi local sudah meningkat dari 10% total kasus dilaporkan ke 22% total kasus dilaporkan. Ini peringatan buat kita semua.
RH: Kalau melintas di Bali sekarang, terutama pada jalanan desa, di pintu masuk desa ada yang nyemprot kedaraan dengan disinfektan, ada yang hanya minta agar kita bersihkan tangan dengan sanitizer. Beda desa, beda cerita. Kira-kira apa hal yang patutnya dilakukan oleh semua desa/banjar agar effektif menekan laju infeksi.
DrPJ: Apa yang dilakukan desa adat sudah baik, teruskan dan kencangkan! Tetap pakai masker, hindari kerumunan dan cuci tangan sebelum masuk suatu tempat dan rumah atau selesai beraktifitas dan jangan sentuh daerah muka sebelum cuci tangan. Hanya saja jika cakupannya local dampaknya akan kurang, harus serentak di seluruh Bali, mengapa karena mobilitas penduduk Bali antar desa dan daerah sangat tinggi, lihat saja Jl Bypass Mantra, pagi dan sore penduduk Gianyar pindah tempat ke dan dari Denpasar atau Badung.

Atas: Pemuda Br Nyuhkuning salah satu paling awal melakukan wajib penyemprotan hand sanitizer. Bawah: Pertamina pun tak kalah dengan anjuran social distancing.

RH: Baru ini Ketua Harian Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Bali Dewa Made Indra mengatakan bahwa laju transmisi lokal terus meningkat karena “tidak tertib SOP”. Menurut Anda apakah laju transmisi lokal akan membawa Bali ke puncak pandemi dalam waktu dekat? Bagaimana proyeksi Anda bila keadaan masyarakat tetap sama seperti sekarang?
DrPJ: Setiap laju epidemi pasti ada puncaknya, dalam istilah epidemiology ada namanya penduduk rentan, dengan kondisi penularan COVID-19 semua penduduk rentan. Jika masih ada penduduk rentan maka ancaman infeksi terus ada, caranya turunkan kerentanan dengan protocol kesehatan seperti physical distancing dan cuci tangan. Cara lainnya turunkan risiko infeksi dengan penanganan mereka yang terinfeksi atau mungkin terinfeksi. Caranya tes sebanyak mungkin agar yang terinfeksi segera ditangani dengan baik dan bagi yang mungkin terinfeksi tapi tidak tahu, kampanyekan dan paksa masker untuk semua orang. Semua kita anggap rentan dan mungkin saja terinfeksi tapi sehat, gunakan masker untuk melindungi yang lain. Dengan cara ini dan cara terukur lainnya puncak bisa kita capai lebih cepat, istilahnya flattening the curve atau bending the curve, kurva atau gunung epidemi lebih cepat dicapai atau lebih landai atau jumlah puncak kasus lebih sedikit. Beban layanan lebih ringan dan waktu kita untuk memperbaiki dampak penyakit pada beban sosial dan ekonomi lebih banyak.
RH: Apakah sebelum isyu PMI memang sudah ada transmisi lokal di Bali, mengingat selama Januari Februari, bahkan Maret masih saja da turis dari Cina di Bali?
DrPJ: Wow, ini balik ke jawaban saya sebelumnya, mungkin saja. Sebelum awal Maret belum ada upaya serius untuk menemukan COVID-19, menemukan artinya melakukan tes pada mereka yang dicurigai, protocol kecurigaan kita (saat itu) tidak sefleksibel sekarang dimana banyak orang bisa dites baik PCR maupun tes cepat. Mungkin lihat lagi penjelasan-penjelasan saya sebelumnya di atas.
RH: Kini di kalangan epidemiolog internasional sudah mulai dibicarakan tentang bahaya infeksi / transmisi lokal di dalam keluarga lockdown justru di rumahnya sendiri – entah karena ada salah satu anggotanya terkena sebelum lockdown atau “bocor”. Kira-kira ini sudah menjadi ancaman baru?
DrPJ: Tentu saja, saat pemerintah China melakukan lockdown mereka juga mengembangkan system skrining yang bisa digunakan masyarakat untuk tahu apakah ada anggota keluarga yang mungkin menderita COVID-19, itu sebabnya di masa lockdown pun di awal awal temuan kasus masih meningkat sebelum kemudian turun drastic. Pembelajaran dari sini adalah lockdown bukan sembarang lockdown tapi juga system monitoring di level keluarga dan kesiapan layanan untuk jemput bola jika ada laporan. Lockdown yang sembarangan hanya akan menimbulkan kekacauan.
RH: Bagaimana tanggapan Anda dengan angka kematian hanya 4 orang, padahal secara persentase yang kita lihat di berbagai tempat selain di Bali kok angka ini rendah sekali?
DrPJ: Ya ini pertanyaan yang banyak dilontarkan bukan hanya oleh masyarakat kita tapi juga pengamat asing, baru kemarin seorang kolega dokter dan penggiat kesmas dari Inggris WA menanyakan apa benar hanya 4 orang yang meninggal sejauh ini di Bali. Kita harus melihat hal ini dari berbagai faktor. Pertama statistik di banyak tempat menunjukkan tingkat kemarian bervariasi antara 0,6% misalnya di Islandia sampai pada angka yang cukup tinggi 13% di Italia. Rata2 dunia di angka 7% sejauh ini. Untuk Indonesia per tanggal 27 terdapat 765 kematian dari 9096 kasus yg dilaporkan atau 8,4%. Untuk memaknai angka-angka ini kita bisa lihat juga tren kematian berdasar kelompok umur, banyak data yang menyebut tingkat kematian lebih tinggi pada usia di atas 50 tahun tertinggi di atas 60 tahun. Sayang laporan di Indonesia belum sejauh ini, nah di Italia dimana kematian tinggi memang terjadi karena yang terdampak banyak usia di atas 40 tahun. Sementara US berbeda lagi, dengan tingkat kematian 5-6% yang terdampak justru kaum black-American yang memang memiliki profil kesehatan lebih buruk akibat masalah penyakit tidak menular seperti, infeksi kronik saluran nafas, diabetes, jantung, hipertensi dan masalah ginjal. Ini sudah terbukti memperburuk prognosis atau masa depan mereka yang terinfeksi COVID-19. Sekali lagi data untuk Indonesia belum ada, eh belum dibuka hehehehe. Untuk Bali jika kita lihat dari 194 kasus konfirmasi hanya 4 kematian dan kalau tidak salah 3 WNA dan 1 WNI yang migran worker. Dengan hanya 20% transmisi lokal dilaporkan dari 194 kasus sulit menilai tingkat kematian di Bali, kita tahu sebagian besar migran yang positif COVID memang berusia muda, yang saya ketahui rata-rata umur 30-40 tahun ini memang usia dengan tingkat kematian terendah. Mungkin akan ada spekulasi apakah ada kematian lain di luar yang diketahui, mungkin saja tapi itu hanya spekulasi, we don;t have the data! itu sebabnya penting sekali memperluas cakupan tes, tes yang akurat. Balik ke keterangan saya sebelumnya tentang tes.
RH: Dr Januraga, terima kasih banyak waktu dan jawabannya!
Semua foto ©Rio Helmi kecuali foto Dr Januraga (koleksi pribadi)
Sumber artikel asli:
http://ubudnowandthen.com/wawancara-covid-19-dr-pande-januraga-md-phd/